Jakarta, 16 Juni 2023 – Gerakan mahasiswa kesehatan yang terdiri dari Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam PB HMI, aliansi BEM FK se-Indonesia, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI), Ikatan Mahasiswa Ahli Teknologi dan Laboratorium Indonesia (IMATELKI), mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menunda Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (Omnibus Law), sampai DPR RI dan Pemerintah dapat menjamin serta memberikan kepastian diakomodirnya hal yang dinilai krusial dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.
Diantara poin yang kami soroti dan dinilai sangat krusial adalah terkait Penghapusan pengeluaran minimal (Mandatory Spending) yang harus dikeluarkan dalam rangka mendukung pembangunan kesehatan nasional dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan telah mengatur nominal minimal 5% diluar gaji dari APBN dan 10% dari APBD. Namun, sayangnya RUU Kesehatan Omnibus Law yang digadang-gadang akan merevisi undang-undang kesehatan dan beberapa aturan lainnya di bidang kesehatan sebagai upaya perbaikan sistem kesehatan nasional justru menghapus poin krusial terkait kepastian adanya dukungan anggaran kesehatan.
Penghapusan Mandatory Spending ini akan mengakibatkan kemunduran bagi sistem kesehatan nasional kita, serta memperlihatkan “omong kosong” Pemerintah dan DPR RI dalam melakukan penguatan sistem kesehatan nasional.
Masyarakat memiliki hak untuk sehat, memperoleh kehidupan yang sehat, serta lingkungan yang sehat. Dalam hal ini termasuk jaminan adanya pelayanan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan pengembangan program-program kesehatan yang mendukung terpenuhinya hak-hak masyarakat atas kesehatan.
Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN), pemerintah memiliki peran serta tanggung jawab untuk melakukan kegiatan mengatur dan mengurus, dimana pemerintah melakukan pengaturan untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan kesehatan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Hal demikian menjadi konsekuensi mutlak menimbang pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang juga lahir sebagai perintah undang-undang. Pelayanan publik merupakan mandat bagi negara dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Untuk mencapai pemenuhan hak atas kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang berkualitas, tentu perlu keseriusan dan komitmen pemerintah termasuk adanya kepastian dukungan pembiayaan bagi kesehatan masyarakat Indonesia dalam bentuk Mandatory Spending pada RUU Kesehatan Omnibus Law.
Setelah melakukan pengkajian dan pendalaman atas pandangan pemerintah, Koalisi Masyarakat, dan Akademisi serta mempelajari draf hingga Daftar Inventarisasi Masalah dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, kami menyimpulkan RUU Kesehatan akan melemahkan sistem kesehatan nasional dengan menghapus hal krusial terkait Mandatory Spending dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.
- Maka dari itu, Koalisi Mahasiswa Kesehatan Indonesia menyatakan sikap :
Koalisi Mahasiswa Kesehatan Indonesia menuntut “PENUNDAAN PEMBAHASAN RUU OMNIBUS LAW KESEHATAN” hingga Mandatory Spending sebesar 10% dari APBN dan APBD diluar gaji diatur kembali dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. - Koalisi Mahasiswa Kesehatan Indonesia memandang pemerintah masih perlu membuka ruang aspirasi dan partisipasi bermakna serta menindaklanjuti aspirasi yang telah disampaikan sehingga tahapan aspirasi tidak menjadi forum formalitas belaka.
- Koalisi Mahasiswa Kesehatan Indonesia menyayangkan penghapusan pengeluaran wajib (mandatory spending) APBN minimal 5 persen dalam Rancangan Undang- undang Kesehatan yang dibahas dengan metode Omnibus Law.
- Koalisi Mahasiswa Kesehatan Indonesia Menuntut peningkatan minimal mandatory spending APBN dan APBD untuk mendukung terpenuhinya hak-hak masyarakat atas kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan serta fasilitas kesehatan.
- Apabila poin-poin yang telah kami sampaikan di atas tidak diindahkan dalam
waktu 3 hari, kami akan melakukan gerakan ekstra parlementer.