ISMAFARSI

Pernyataan Sikap Legalisasi Ganja

 

Sudut Pandang ISMAFARSI dalam Isu Legalisasi Ganja di Indonesia

Yuliansyah, dan Damas Raja A. F.

Email: kastrad.ismafarsi@gmail.com

 

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia menempatkan diri pada pihak yang menggolongkan ganja dalam barang yang terlarang. Sejak Presiden Soeharto meratifikasi United Nations Single Convention on Narcotics Drugs melalui UU RI (Undang-Undang Republik Indonesia) No. 8 Tahun 1976. Lahirnya UU Narkotika No. 8 Tahun 1976 yang salah satu fungsinya mengkriminalkan warga negara yang memanfaatkan dan menanam pohon ganja. Dalam perjalanannya undang-undang tersebut telah 2 kali mengalami perubahan; UU Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan UU Narkotika No. 35 Tahun 2009. Perubahan undang- undang tersebut memang terdapat alasan yang cukup signifikan yakni terkait dengan posisi ganja pemaknaan mengenai penjual serta pengguna, segala aktivitas penggunaan narkotika baik memperjualbelikan maupun menggunakan mendapatkan sanksi hukuman pidana namun perkembangan serta pemahaman tentang HAM membuat adanya pemisahan antara memperjualbelikan dengan menggunakan, untuk kasus memperjualbelikan akan mendapat sanksi pidana sedangkan pengguna akan mendapatkan rehabilitasi.

Narkotika dikategorikan dalam tiga golongan yang berbeda berdasarkan tingkat bahaya dan daya adiktifnya. Narkotika golongan I dianggap yang paling berbahaya dan memiliki daya adiktif yang tinggi. Jenis-jenis narkotika yang masuk dalam golongan ini adalah ganja, heroin, kokain, sabu-sabu, morfin, opium. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki adiktif yang kuat tetapi bermanfaat untuk pengobatan seperti petidin, benzetidin dan betametadol. Sedangkan narkotika golongan III adalah jenis-jenis narkotika yang memiliki daya adiktif ringan dan bermanfaat untuk pengobatan seperti kodein dan turunannya.

Tanaman ganja termasuk dalam jenis narkotika golongan I dikarenakan tanaman ini memiliki dampak yang buruk bagi tubuh manusia. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) tanaman ganja atau marijuana merupakan tumbuhan yang mengandung senyawa THC (Tetrahydrocannabinol), zat narkotika yang membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab). Unsur THC tersebut itu membuat pemakainya mengalami intoksikasi (keracunan) secara fisik, jantung berdebar, denyut bertambah cepat 50%. Disamping itu, dapat membuat bola mata memerah karena pelebaran pembuluh darah kapiler. 

Tujuan utama pemerintah memberlakukan UU Narkotika tentu untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia dari bahaya penyalahgunaan, peredaran gelap Narkotika, serta menjamin ketersediaan obat bagi masyarakat yang membutuhkan. Narkotika pada saat ini banyak digunakan dalam dunia kedokteran sebagai obat. ISMAFARSI meriset bahwa banyak sekali jurnal-jurnal penelitian yang mendukung atau menolak ganja. Kami meyakini bahwa ganja memiliki banyak manfaat dan kegunaan hal ini didasarkan pada pertimbangan pelacakan searah penggunaan ganja oleh peradaban manusia yang sudah lama digunakan. Dimasukkannya ganja pada psikotropika Golongan I menurut kami dikarenakan riset lokal yang masih kurang optimal dan cenderung mengikuti peraturan internasional. Perlu dilakukan konsep good governance yaitu mengumpulkan semua elemen meliputi pemerintah, peneliti, akademisi, Non-Government Organization (NGO), dan organisasi mahasiswa kesehatan untuk menciptakan sebuah kebijakan publik yang ideal untuk menjawab konsep legalisasi ganja berdasarkan keadaan sosiologis, geografis, dan demografis.

Melihat manfaat tanaman ganja yang potensial, maka daripada itu dalam perjuangan gerakannya ISMAFARSI turut meriset lebih hal ini sebagai upaya guna memberikan sebuah masukan kembali tentang posisi ganja yang menurut UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 adalah barang berbahaya dan hanya bisa digunakan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta menjawab dan meluruskan kebutuhan ganja pada bidang kesehatan dan penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap legalisasi ganja pada tanggal 20 Juli 2022.

1.1 PENINJAUAN GANJA SECARA YURIDIS

Berdasarkan UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 berbunyi “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”. Ganja dimasukkan ke dalam narkotika golongan 1 seperti tertuang dalam UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 Daftar Narkotika Golongan I, tentu hal ini didasari oleh riset yang belum optimal sehingga ganja berdasarkan UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 Pasal 8 Ayat 2 berbunyi “Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan” dan dipertegas pada Pasal 8 ayat 1 bahwa “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”.

Dipertegas berdasarkan UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang berbunyi “Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis”, UU tersebut menyatakan bahwa tidak hanya tanamannya saja namun semua bagian tanaman termasuk ke dalam golongan I. Tetapi bukan berarti tidak ada potensi salah satu bagian tanaman, isolat atau turunan zatnya tidak bisa dimanfaatkan untuk terapi, justru hal ini menjadi momentum perkembangan riset mengenai tanaman ganja lebih lanjut agar menjawab tantangan dunia kesehatan terkhususnya kefarmasian di Indonesia.

1.2 KEADAAN SOSIOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA

Ada perbedaan sosiologis antara negara Indonesia dengan negara lain salah satu contohnya adalah Thailand yang merupakan negara Association of South East Asia Nation (ASEAN) pertama yang melegalisasi ganja. Kamis, 9 Juni 2022, negara Thailand secara resmi akan menghapus ganja dari daftar narkotikanya. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya memanfaatkan minat yang meningkat pada minuman infus dan perawatan medis. Menurut pemerintah Thailand, tujuan utama undang-undang baru itu adalah untuk mendorong para penggemar menggunakan ganja buatan sendiri di Thailand serta meringankan kondisi kesehatan tertentu dan meningkatkan kesehatan di tingkat rumah tangga. Thailand sudah memiliki setidaknya 10 spesies tanaman ganja lokal. Baru-baru ini, Thailand menjadi berita utama global ketika pemerintahnya mengumumkan kampanye nasional dengan membagikan 1 juta bibit ganja untuk memasok petani yang tertarik. Thailand juga akan mengizinkan orang menanam ganja di rumah, tetapi bagi mereka yang merokok untuk tujuan rekreasi masih dilarang. Para pejabat memperingatkan, siapa pun yang merokok ganja di depan umum bisa dikenai hukuman. Kendati demikian, meskipun sudah dilegalkan, hanya penggunaan ganja dengan potensi rendah yang diizinkan pemerintah. Sedangkan ekstrak yang mengandung lebih dari 0,2 persen tetrahydrocannabinol (THC), zat psikoaktif tanaman yang membuat orang merasa mabuk tetap ilegal atau dilarang. Meski begitu, penggunaan ganja untuk keperluan rekreasi belum diatur secara jelas.

Ketika berkaca kembali kepada negara Indonesia yang secara historis memegang teguh nilai-nilai hukum berlandaskan agama tentu tidak bisa mengambil langkah yang sama seperti Thailand. Terutama pada bagian dimana Thailand belum menyiapkan regulasi bagi pengguna ganja berlandaskan rekreasi, dengan pelegalan bahwa ganja dapat ditanam oleh masyarakat tentu berpotensi terjadi penyalahgunaan dan menyamarkan kecurangan inkonstitusional seperti menanam ganja dengan jenis yang berbeda dan memiliki kadar THC yang lebih tinggi. Thailand masih mengizinkan penggunaan rokok ganja terkhusus bagi diri sendiri dan tidak dilakukan pada kawasan terbuka, namun hal ini akan menjadi polemik besar untuk Indonesia jika memperbolehkan penggunaan rokok ganja walaupun dengan kadar zat psikoaktif yang rendah tersebut akibat tubrukan nilai moral yang disepakati di Thailand dan Indonesia.

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) selama ini terdapat 6.894 penanganan kasus narkotika di Indonesia dengan barang bukti aset dalam rupiah senilai Rp. 1.093.432.187.988. Terkhusus barang bukti narkotika ganja menempati peringkat 1 sebanyak 28.473.208,30 gram diikuti sabu, ekstasi, dan obat-obatan secara berturut-turut sebanyak 14.384.669,29 gram; 5.020.475 butir; 2.370.980 butir. Dapat dilihat penanganan kasus narkotika pertahun di Indonesia pada Gambar 1.

 

Gambar 1. Penanganan Kasus Narkotika per Tahun di Indonesia

Pada tahun 2021 terdapat jumlah kasus 766 dengan total tersangka sebanyak 1.184. Angka ini tentu tidak sedikit bagi negara dengan UU Narkotika yang ketat mengilegalkan tanaman ganja. Implikasi ganja yang dilegalkan sangat potensial menyebabkan adanya kenaikan kasus dan tersangka yang lebih signifikan di kemudian hari. Untuk wilayah dengan peringkat ke-1 Indonesia terdapat pada gambar 2.

 

Gambar 2. Jakarta sebagai Wilayah Kasus Narkotika Peringkat ke-1 Tertinggi di Indonesia

Jumlah total kasus di Jakarta sebanyak 996 dengan jumlah tersangka 2.002. Implikasi yang terjadi adalah Jakarta sebagai kawasan epicentrum mengalami penyalahgunaan terbesar melampaui wilayah-wilayah lain sehingga konteksnya adalah dengan pengawasan dan regulasi yang sangat ketat saja secara sosiologis Indonesia masih mencari celah dari perdagangan gelap untuk dapat mengkonsumsi ganja yang tentunya mayoritas dipergunakan untuk rekreasi. 

 

2.1 AKTIVASI CANNABIDIOL UNTUK PENGOBATAN

ISMAFARSI sebagai organisasi nasional mahasiswa farmasi turut berpendapat dan menjadikan hal ini sebagai momentum untuk kebangkitan para penempuh jenjang Sarjana Farmasi yang dilanjutkan dengan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) yaitu profesi Apoteker. Peran apoteker dalam sektor riset kefarmasian sangat-sangat perlu untuk dioptimalkan meliputi Sumber Daya Manusia (SDM) dan dukungan-dukungan riset oleh pemerintah, melalui kemampuan yang sudah terbekali pada pendidikan yang sebelumnya telah dilewati, Apoteker dapat menjadi jawaban dalam penyelesaian masalah legalisasi ganja ini. Dalam ruang sidang pleno MK, Taufik Basari selaku anggota Komisi III DPR (2021) mengatakan bahwa dalam proses legalisasi ganja membutuhkan riset yang jelas dengan bekal ilmu pengetahuan. Hal ini dibutuhkan sebuah dukungan konkrit dari pemerintah untuk melancarkan proses penelitian terkait manfaat ganja untuk medis. 

Riset-riset yang dapat dikelola oleh apoteker adalah rekayasa genetik tanaman ganja yang memiliki kadar zat berkhasiat lebih tinggi (cannabidiol) dan menurunkan kadar zat psikoaktif (THC). Pemanfaatan ganja ini hanya dikhususkan sebagai ganja medis dan dibudidayakan oleh institusi-institusi terkait yang dilegalkan sesuai perundang-undangan. Dilanjutkan dengan riset tersebut dapat difokuskan untuk mengambil isolat dari tanaman ganja yaitu cannabidiol (CBD) yang dapat dipergunakan untuk dunia kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 

Apoteker dapat menyarankan bahwa CBD merupakan zat yang potensial untuk pengobatan suatu penyakit di masyarakat sehingga aktivasi CBD dapat dilegalkan dengan evidence-based medicine yang jelas. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan kepada pasien pengidap penyakit LGS diberikan perlakukan pengobatan yang berbeda, yaitu dengan menggunakan CBD dan plasebo. Dari hasil pengobatan tersebut, pasien mengalami penurunan kejang yang cukup signifikan perbedaannya antara CBD dan plasebo. Angka penurunan kejang dengan CBD sebesar 37,2% (CBD-Rx 10 mg/kg/hari) atau 41,9% (CBD-Rx 20 mg/kg/hari). Sedangkan untuk penurunan kejang dengan menggunakan plasebo sebesar 17% per 28 hari. Efek samping umum yang dilaporkan dari penggunaan CBD-Rx 20 mg/kg/hari sebesar 94% adalah ringan dibandingkan dengan 72% dari kelompok plasebo (Devinsky, 2018). Dari hasil EBM tersebut, dibutuhkan langkah selanjutnya dengan restrukturisasi pada tatanan regulasi UU No. 35 Narkotika Tahun 2009 diperlukan agar CBD dapat dilegalkan sebagai zat yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan, namun penanaman ganja oleh masyarakat tetap tidak dilegalkan mengingat kondisi sosiologis yang high risk penyalahgunaan. Profesi Apoteker juga mampu berperan pada penentuan bentuk sediaan dan modifikasi lebih lanjut.

2.2 RESTRUKTURISASI REGULASI NARKOTIKA DAN PENCIPTAAN REGULASI TURUNANNYA

Strategi pertama adalah dengan cara merubah nomenklatur bahwa golongan I tidak dapat digunakan untuk kesehatan menjadi dapat digunakan untuk kesehatan jika sudah memiliki penelitian yang matang dan dilanjutkan penjelasan lebih teknis dan implementatif terkhusus untuk zat tersebut pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), dalam hal ini membahas terkait penggunaan hasil isolat ganja yaitu CBD untuk masuk ke dalam lini terapi final bagi pasien-pasien yang memiliki permasalahan khas dengan lini terapi suatu penyakit dan memasukkan CBD sebagai zat yang dapat berpotensi pada pengobatan penyakit atau symptom dari penyakit tersebut di monografi berdasarkan hasil terapi yang potensial pada manusia. Diawali dengan penghapusan Pasal 8 Ayat 1 UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang berbunyi “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan” atau diperlukan penambahan narasi seperti “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, kecuali jika pada hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi didapatkan zat yang jauh lebih aman dan potensial untuk kesehatan setelah mendapatkan persetujuan Menteri dan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”. Dilanjutkan dengan Pasal 8 Ayat 2 UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang berbunyi “Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”, diganti menjadi “Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, reagensia diagnostik, dan pengobatan lini akhir serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”. Selanjutnya, Perlu ada penyesuaian pada Pasal 12 Ayat 1 dan 2, Pasal 16 Ayat 3, Pasal 41 berdasarkan saran-saran seperti pada pasal perbaikan sebelumnya. Hal teknis dan implementatif perlu diakomodir secara khusus untuk zat baru tersebut pada PMK seperti jenis apa saja yang diperbolehkan untuk dibudidayakan suatu institusi khusus untuk pengobatan penyakit atau symptom, berapa kadar tertinggi yang dapat digunakan, strategi pengawasan, sanksi, dan izin pembangunan institusi pembudidaya ganja hasil rekayasa genetik dengan THC rendah dan CBD tinggi. 

Strategi kedua adalah dengan menetapkan isolat ganja (CBD) ke dalam golongan II, tetapi untuk ganja secara murni (tanaman dan bagian-bagiannya) masih ditetapkan pada golongan I sehingga secara langsung dapat diimplementasikan untuk pengobatan lini terakhir sesuai UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 Pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Inti dari strategi pertama dan kedua bukan legalisasi ganja secara murni, namun legalisasi zat potensial yang ada di dalamnya dimana secara berkelanjutan melalui riset dari tenaga ahli yaitu Apoteker dapat menjadikan zat potensial tersebut (CBD) diformulasi dan bahkan dimodifikasi dengan lebih efektif dan efisien untuk terapi sehingga di kemudian hari terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Majelis Ulama Indonesia juga perlu turut sigap menerbitkan fatwa penggunaan sediaan CBD untuk keperluan medis. CBD memiliki potensi untuk penyelesaian kasus kejang dan epilepsi, tetapi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga sudah memberikan alternatif bahwa untuk pengobatan epilepsi itu ada di dalam Formularium Nasional. ISMAFARSI sebagai iron stock Profesi Apoteker tentu sangat mendukung riset tanaman ganja agar Apoteker semakin dirasakan kehadirannya di mata masyarakat Indonesia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Bagaimana Aturan Legalisasi Ganja di Thailand Resmi Hari Ini? (tirto.id). diakses tanggal 22-07-2022 jam 15.51 WIB

Devinsky O, Patel AD, Cross JH, Villanueva V, Wirrell EC, Privitera M, dkk. Pengaruh cannabidiol pada kejang drop pada sindrom Lennox-Gastaut. N Engl J Med. 2018;378(20)::1888-97. DOI:10. 1056/NEJMoa1714631. PMID PubMed:29768152.

DI Indonesia (Studi Deskriptif Gerakan Legalisasi Ganja DI Indonesia. hal 11

Hari Rahmat, 2015. Penggolongan Ganja Sebagai Narkotika Golongan I Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. hal 4

Ulasan tentang Ganja (bnn.go.id). diakses tanggal 21-07-2022 jam 22.51 WIB

Data Statistik Penanganan Kasus Narkotika (bnn.go.id). diakses tanggal 22-07-2022 jam 10.18 WIB

Kusumawardhani Yuni. 2014. Konstruksi Sosial Pengurus Organisasi Lingkar Ganja Nusantara Terhadap Ganja

indonesia, m., 2021. DPR Sebut Proses Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis Berbeda di Setiap Negara | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. [online] Mkri.id. Available at:<https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17459&menu=2> [Accessed 17 August 2022].

MK Tolak Legalisasi Ganja Medis untuk Kesehatan! (detik.com). diakses tanggal 22-07-2022 jam 14.10 WIB

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta

Tim LGN. 2014. Sekarang Aku. Besok Kamu!. Lingkar Ganja Nusantara. hal 33

 

PERNYATAAN SIKAP ISMAFARSI

LEGALISASI GANJA

Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) sebagai organisasi

mahasiswa kesehatan yang independen dalam melaksanakan fungsi sebagai mahasiswa yaitu agent of change, social control, dan moral force akan selalu aktif dan kontributif dalam pergerakan di dunia kesehatan khususnya kefarmasian, tidak luput juga harus ikut responsif dan peduli akan permasalahan kesehatan dan kefarmasian. Sebagai mahasiswa, kami tetap berdikari dalam membantu mengobservasi keadaan sosial dan mengadvokasikannya sesuai dengan jaminan dari UUD 1945 pasal 28C yang berbunyi “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Berdasarkan informasi mengenai penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait legalisasi ganja dengan menggunakan konsep open legal policy (kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan untuk membentuk Undang-Undang apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas bagaimana seharusnya materi dalam undang-undang diatur), maka dengan ini kami menyatakan bahwa :

  • Menolak tanaman ganja untuk dilegalkan di Indonesia dengan alasan apapun termasuk untuk kepentingan medis. 
  • Mendesak pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI dan DPR RI untuk menindaklanjuti serta mendukung riset dalam penemuan evidence based medicine aktivasi/pemanfaatan bagian ganja medis yang potensial untuk pengobatan yang selanjutnya dilakukan penyesuaian UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 untuk bagian zat yang potensial (cannabidiol) agar dimasukkan ke dalam golongan II narkotika.
  • Mendukung organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia dan seluruh stakeholder farmasi untuk berperan proaktif dalam pengadvokasian isu legalisasi ganja medis.
  • Mendukung Apoteker seluruh Indonesia untuk melakukan penelitian terkait ganja medis yang kemudian diklasifikasikan dan dilakukan riset, serta berperan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pemanfaatan senyawa dalam ganja yang tidak memiliki potensi psikoaktif.

Demikian pernyataan sikap dari kami mahasiswa farmasi sebagaimana mestinya. Surat ini dikeluarkan atas rasa cinta kami kepada apoteker, masyarakat, dunia farmasi, dan Indonesia.

 

Tembusan:

  1. Pemerintah Pusat/Presiden RI
  2. DPR RI
  3. Kementerian Kesehatan RI
  4. BPOM RI
  5. PP IAI

 

Yogyakarta, 18 Agustus 2022

Hormat kami,

Muhammad Hildan Maulana

Sekretaris Jenderal ISMAFARSI 2022-2024

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Notice: ob_end_flush(): failed to send buffer of zlib output compression (0) in /home/ismafars/public_html/wp-includes/functions.php on line 5279